<< / >>

Deskripsi:

MASYARAKAT Islam dewasa ini menghadapi persoalan dilematis dalam pendidikan. Satu sisi, mereka dituntut untuk selalu menyelaraskan persoalan-persoalan pendidikan sesuai dengan prinsip akidah, risalah, dan dakwah yang sakral dan khas. Tapi, di sisi lain mereka juga dihadapkan pada teori dan praktik mengenai pendidikan yang berasal dari pemikiran sekuler Barat. Sekalipun sisi pelaksanaan mengenai pendidikan yang disebut terakhir memberi kontribusi, namun faedahnya ternyata tidak sebanding dengan kerugian yang diderita masyarakat Islam. Kontribusi pendidikan ala Barat terhadap lulusannya, seperti diyakini oleh Azyumardi Azra (Republika, 5 Februari 1999), mampu memberikan dasar pembentukan sikap kritis dan analitis. Sedangkan kerugiannya, akan menohok pada realitas adanya degradasi etos kerja dan distorsi akidah generasi muda muslim. Untuk mengatasi persoalan dilematis tersebut, masyarakat Islam dewasa ini, setidaknya mesti melakukan kajian ulang terhadap konsep dan materi pendidikan Islam. Bahkan, akan lebih baik bila kaum Muslimin mampu mengusulkan rumusan konsep dan materi itu yang up to date dan sesuai dengan kebutuhan generasi zamannya. Kajian mengenai pendidikan Islam tidak dapat dilepaskan dari asumsiasumsi yang mendasarinya, yakni "ruh" pendidikan. Ruh itu sebagai inti dan esensinya pendidikan Islam, merupakan kelanjutan dari matra keimanan kepada Allah Swt. Inti dan esensi inilah yang tidak dimiliki sistem pendidikan sekuler. Apa yang dapat kita saksikan mengenai output pendidikan Barat? Pendidikan menjadi kering hikmah. Karena itu, konsep pendidikan yang termuati semangat keimanan (dan ketakwaan) merupakan masalah mendesak bagi —masyarakat Islam, sekarang ini, untuk direkonstruksi. Sesugguhnya rekonstruksi sistem pendidikan dan pengajaran Islam merupakan konsekuensi logis dari dampak penerapan sistem pendidikan Barat, yang berlangsung beberapa abad di kawasan yang sebagian besar dihuni oleh umat Islam. Praktik pendidikan Barat telah menjadikan generasi muda baru Islam tidak agamis. Mereka secara sadar dijebak dalam peradaban Barat yang bersumber dari paham Liberalisme dan Hedonisme. Pada tataran yang lebih praksis, seperti kritik Muhammad Iqbal, mengenai “Kejahatan yang dilakukan Sekolah" dan “Hasil-hasil yang tidak diinginkan dari Sistem Pendidikan Modern", pengelolaan administrasi pendidikan dan pengajaran di negara-negara Islam pun mengalami dilema yang sama. Jurus-jurus yang dilakukan negara-negara Islam, bersegera setelah memperoleh kemerdekaan (politik), melaksanakan lompatan besar dalam pendidikan, ilmu pengetahuan, penerbitan buku, dan pemberantasan buta huruf, semuanya beroreintasi pada keyakinan dan nilai Barat. Padahal, Barat memiliki akar sejarah yang berbeda dengan Timur (karakteristik negara-negara Islam). Oleh sebab itu, pemasyarakatan ilmu pengetahuan dan pemberantasan buta huruf tidak menjadi tolok ukur utama dalam menilai keberhasilan sesuatu masyarakat. Apalagi untuk negara-negara Timur yang memiliki agama, misi dan peradaban ilahiyah. Abu Al-Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi 8 | Page Pada gilirannya, karya pendidikan bukan merupakan sesuatu yang dapat diperjualbelikan dan dipertukarkan, dari dan atau ke suatu masyarakat. Setiap masyarakat harus mengembangkan konsep dan praktik pendidikan sesuai dengan agama, misi, dan peradaban masingmasing Sebagaimana Sosialisme dan Liberalisme telah tenkat oleh keharusan untuk mengembangkan konsep pendidikan masingmasing, masyarakat Islam pun memiliki kewajiban yang sama. Penerapan sistem pendidikan "asing", yang bersumber pada sosialisme atau liberalisme, telah memicu munculnya efek samping (side effect), persoalan pendidikan di negara-negara Islam. Seperti, lenyapnya keyakinan terhadap nilai-nilai budaya, ajaran dan kebaikan yang dimiliki lembaga pendidikan, keraguan peserta didik terhadap keikhlasan para pendidik, lemahnya hubungan peserta didik dengan pendidik, tidak adanya risalah yang jelas yang dapat dibanggakan oleh peserta didik, dan tidak adanya semangat untuk mengamalkan hasil pendidikan. Dus, lembaga pendidikan tidak dapat menghasilkan manusia utuh, karena pendidikan kering dari dimensi kemanusiaan, seperti emosi, cinta dan keimanan. Penerapan sistem pendidikan asing juga telah mengaburkan identitas Islam. Identitas yang semula dapat membedakan dari masyarakat lainnya. Sehubungan dengan itu, masyarakat Islam perlu menyikapi ulang tentang pendidikan. Bahwa pendidikan adalah sarana, bukan tujuan. Dengan demikian, pendidikan Barat tidak lebih, hanya sekedar "bahan mentah” (raw material) yang perlu dinafasi oleh "ruh al-Islam". Bila demikian, lembaga pendidikan dapat mengabdikan diri bagi pencapaian kepentingan dan tujuan masyarakat Islam madani. Inilah kemandirian pendidikan Islam. Pendidikan Islam yang mandiri seperti itulah yang dicita-citakan. Lembaga pendidikan tidak lagi menjadi menara gading (ivory tower) di tengah masyarakat Islam dan tidak menyuratkan kesan elitis. Sebaliknya perwujudan institusi yang akrab dan ramah dengan lingkungan sosialnya. Abul Hasan al-Nadwi adalah praktisi pendidikan dan ulama besar. Tentu saja, ia memiliki pengalaman yang luas dalam pendidikan dan juga punya pengamatan yang jeli. Wajar saja kalau tulisannya memiliki analisa yang tajam dan sarat fakta keislaman. Kendati demikian, bisa jadi apa yang ia tulis dalam buku, yang berjudul asli Nadwa al-Tarbiyah al-Islâmiyah al-Hurrah fi al-Hukumât wa al-Bilâd al-lslâmiyah, hanya angan semata, karena kekecewaan terhadap kenyataan yang disaksikannya. Tapi, betapa kita kesulitan untuk membantah argumen-argumennya. Buku ini dapat dipakai sebagai alternatif dalam mengatasi masalah pendidikan yang dihadapi masyarakat Islam. Namun tulisan ini bukan satu-satunya alternatif yang dapat memecahkan persoalan pendidikan masyarakat Islam. Keberadaannya bisa dipandang sebagai salah satu "senjata" untuk menghadapi persoalan umat Islam, yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Arah baliknya, kita wajib mencari "senjata-senjata" lain yang lebih unggul dan tepat. Dan itu masih terus harus dicari. Inilah identitas lengkap buku tersebut: KEMANDIRIAN PENDIDIKAN ISLAM Upaya Meretas Belenggu Ketergantungan Penulis: Abu Al-Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi Penerjemah : Prof. Pupuh Fathurrahman dan Prof. Afif Muhammad (Edisi bahasa Indonesia) Editor : Mansur Asy’arie Judul asli : Nadwa al-Tarbiyah al-Islâmiyah al-Hurrah fi al-Hukumât wa al-Bilâd al-lslâmiyah (versi Arab, 1968) Proof Reader : Yudewi Maslahat Ukuran: 14,8 x 21 cm (A5) Desain Sampul dan Tata Letak : Regana POIN, computer and adventure Jl. Raya Babakan Gelar, Surade, Sukabumi Jawa Barat Kode Pos 43179 WA. 089613722618 PinBB: 7633589B Penerbit : Yayasan AMMA (Al-Manshur Makmur Mandiri Abadi) Jl. Raya Bedeng No. 63 Rt. 02/01 Pasiripis Kec. Surade Kab. Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia Email: [email protected] HP. 085217143334 Penerbitan Pertama : Oktober 2019 ISBN : 978-602-72673-9-8

Eksemplar:

No Kondisi Harga Ketersediaan Lokasi Perpustakaan Lokasi Penyimpanan